Salah satu hal yang tidak
bisa dihindari oleh manusia yang hidup di muka bumi ini adalah kepemimpinan.
Sebagainama sabda Nabi Muhammad Saw dalam salah satu haditsnya yang sangat
populer, yaitu : “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Pelajaran yang dapat diambil dari hadits
tersebut adalah bahwa setiap diri manusia secara tidak tidak disadari telah
menjadi seorang pemimpin, ialah pemimpin bagi dirinya sendiri.
"Kepemimpinan" dalam Islam merupakan kepemimpinan
Allah SWT yang sifatnya mutlak. Dalam teknisnya kepemimpinan Allah SWT ini
diwakilkan lewat para nabi dan orang mukmin. Hal ini karena secara logika tidak
dapat diterima apabila Allah SWT yang langsung melaksanakan teknisnya karena kita
tahu bahwa Allah SWT tidak terbatas dengan dimensi ruang dan waktu. Dalam
dasawarsa terakhir ini banyak wacana yang mengangkat tentang kepemimpinan Islam,
terutama di Indonesia. Kepemimpinan Islam di Indonesia yang mayoritas warga
negaranya beragama Islam nampaknya masih belum sepenuhnya berjalan sesuai
dengan ketentuan syari’at. Namun usaha untuk menuju kesana sudah dimulai sejak
sebelum proklamasi kemerdekaan. Ini terlihat dari draf pancasila yang sekarang
menjadi dasar negara Indonesia. Sila pertama yang awalnya mencantuman “dengan
menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah bukti komitmen umat Islam
untuk terus menjunjung tinggi ajaran agama yang mulia ini. Simbol atau
nama kepemimpinan Islam di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan bentuk
secara mentah-mentah. Artinya "Kepemimpinan"Islam di Indonesia akan tidak dapat
teralisasi apabila menggunakan nama atau istilah dengan kepemimpinan Islam.
Terdapat sebuah kaidah yang mengatakan “al-ibrah fil islam bil jawhar wa la
bil madzhar”. Artinya dasar yang menjadi patokan dalam perjuangan Islam adalah
substansinya dan bukan simbol formalitasnya. Memang, pada dasarnya nama
sangatlah mempengaruhi kredibilitas terhadap sesuatu yang menyandang nama
tersebut. Namun permasalahannya sekarang adalah di Indonesia terdiri dari
banyak agama yang masing-masing mempunyai ajaran. Apabila umat Islam memaksakan
berlakunya"Kepemimpinan" Islam dengan mencantumkan namanya, maka besar
kemungkinan akan terjadi perang antaragama. Apabila terjadi demikian maka misi Islam
sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin bisa dikatakan gagal. Karena
dengan menerapkan konsep kepemimpinan Islam justru akan membuat perpecahan
dalam suatu negara.
Sebagaimana agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, Islam memberikan
prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam rangka mengelola sebuah organisasi dalam pemerintahan. Ada beberapa hal yang
disyaratkan dalam al-qur’an dan sunnah mengenai beberapa prinsip pokok dan tata
nilai berkaitan dengan"Kepemimpinan" kehidupan, bermasyarakat, berorganisasi,
bernegara (kehidupan politik), termasuk didalamnya dalam sistem pemerintahan
yang nota-bennya merupakan kontrak
sosial. Berikut ini adalah prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang
diajarkan dalam agama islam dalam hal yang berhubungan dengan kontrak sosial,
yaitu :
a.
Prinsip Tauhid
Prinsip
Tauhid merupakan salah satu dasar dalam sistem "Kepemimpinan" (pemerintahan
Islam). Hal ini dapat dilihat dengan cara menyimak sejarah Islam itu sendiri. Sebab perbedaan akidah yang
fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh karena
itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat
diterima oleh berbagai umat, yakni tauhid. Hal ini dapat dilihat dalam surat
An-Nisa’ ayat 48:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
Artinya : “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
(An-Nisa’ : 48)
b.
Prinsip Syura (Musyawarah)
Secara
etimologi, konsep “syura” merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa
arab. Arti dari “syura” tesebut adalah
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembangn sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga
musyawarah dapat berarti mengeluarkan atau mengajukan suatu pendapat.
Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya. Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak
dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang menindas pihak lain dan
tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa al-qur’an, jangan
sampai sura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
yang jelas-jelas terdapat dalam nash al-qur’an dan sunnah. Dalam
menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisas dan
bermasyarakat, manusia paling tidak mengenal tiga cara , yaitu 1) keputusan
yang ditetapkan oleh penguasa, 2) keputusan yang ditetapkan oleh pandangan
minoritas, 3) keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas.
Ketiga
bentuk keputusan di atas
biasanya menjadi ciri umum demokrasi, meskipun harus dicatat bahwa “demokrasi
tidak identik dengan syura”. Prinsip
musyawarah dalam Islam jelas tidak sesuai dengan model keputusan yang pertama,
sebab hal itu justru akan membuat syura menjadi “impoten” dan lumpuh. Demikian
pula pada bentuk kedua, sebab hal ini akan menyisakan pertanyaan, apakah
keistimewaan pendapat minoritas sehingga mengalahkan yang mayoritas? Walaupun
syura dalam islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi pada
dasarnya hal itu fidak bersifat mutlak. Demikian antara lain pendapat yang
dikemukakan oleh Ahmad Kamal Abu al-majad dalam kitabnya “Hiwar La Muwajahah”
sebagaimana dikutip oleh quraish Shihab. Sebab keputusan pendapat mayoritas
tidak boleh menindas yang minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang
gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam islam suara mayoritas
tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar syari’at.
c.
Prinsip Keadilan
dalam Memenej Pemerintahan
keadilan
menjadi suatu keniscayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar
tercipta suasana masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya
jika kemudian syikh al-Mawardi dalam Ahkan as-Sultabaniyyah-nya memasukkan
syarat pertama bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah mempunyai sifat
adil. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pemerintahan yang adil
di bawah pemimpin yang kafir lebih baik dibanding pemimpin muslim tapi dhalim.
Karena keadilam dalam "Kepemimpinan" merupakan syarat mutlak bagi terciptanya
stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, bukan stabilitas sosial yang
“seolah-olah” karena adanya tekanan. Dalam al-qur’an, konsep keadilan
diungkapkan dengan kata al-adl, al-qisth, al-mizan. Keadilan menurut al-qur’an
mengantarkan manusia kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan mengantarkan kepada
kesejahteraan. Kata al-adl dalam al-qur’an dengan berbagai bentuknya
terulang dua puluh kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan
oleh para ulama mengenai keadilan. Pertama, adil dalam arti sama; artinya
tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud disini adalah
persamaan dalam hak. Misalnya dalam putusan hukum di pengadilan. Kedua, adil
dalam arti seimbang; arti ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan),
bukan lawan dari kedhaliman. Dalam hal ini kesesuaian atau keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan dan kadar. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau
besar sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan
darinya. Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang kemudian sering
dikenal dengan dalam islam dengan istilah “wadh’u asy-syai fi mahallihi”,
artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang dinisbatkan
kepada Allah Swt. Adil disini memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki
hak atas semua yang ada sedangkan semua yang ada pada hakikatnya tidak memiliki
sesuatu disisi-Nya.
d.
Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah)
Kebebasan
atau huriyyah dalam pandangan Islam sangat dijunjung tinggi, termasuk kebebasan
dalam menentukan pilihan agama sekalipun. Apakah seseorang itu mau beriman atau
kafir terserah. Sebab merupakan hak setiap manusia yang diberikan Allah SWT,
tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali yang di bawah dan setelah
melalui proses hukum. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah
kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga bukan berarti kebebasan
tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan
yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar