Pendidikan Terbaru Indonesia. Pendidikan Makalah Indonesia. Politik Sukses Indonesia.Pendidikan Dakwah Indonesia

Senin, 12 Januari 2015

Konsep dan Implementasi Kepemimpinan Islami

A.    Konsep dan Implementasi Kepemimpinan Islami

Salah satu hal yang tidak bisa dihindari oleh manusia yang hidup di muka bumi ini adalah kepemimpinan. Sebagainama sabda Nabi Muhammad Saw dalam salah satu haditsnya yang sangat populer, yaitu :  “Setiap dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah bahwa setiap diri manusia secara tidak tidak disadari telah menjadi seorang pemimpin, ialah pemimpin bagi dirinya sendiri.

"Kepemimpinan" dalam Islam merupakan kepemimpinan Allah SWT yang sifatnya mutlak. Dalam teknisnya kepemimpinan Allah SWT ini diwakilkan lewat para nabi dan orang mukmin. Hal ini karena secara logika tidak dapat diterima apabila Allah SWT yang langsung melaksanakan teknisnya karena kita tahu bahwa Allah SWT tidak terbatas dengan dimensi ruang dan waktu. Dalam dasawarsa terakhir ini banyak wacana yang mengangkat tentang kepemimpinan Islam, terutama di Indonesia. Kepemimpinan Islam di Indonesia yang mayoritas warga negaranya beragama Islam nampaknya masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan ketentuan syari’at. Namun usaha untuk menuju kesana sudah dimulai sejak sebelum proklamasi kemerdekaan. Ini terlihat dari draf pancasila yang sekarang menjadi dasar negara Indonesia. Sila pertama yang awalnya mencantuman “dengan menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah bukti komitmen umat Islam untuk terus menjunjung tinggi ajaran agama yang mulia ini.  Simbol atau nama kepemimpinan Islam di Indonesia tidak dapat diterapkan dengan bentuk secara mentah-mentah. Artinya "Kepemimpinan"Islam di Indonesia akan tidak dapat teralisasi apabila menggunakan nama atau istilah dengan kepemimpinan Islam. Terdapat sebuah kaidah yang mengatakan “al-ibrah fil islam bil jawhar wa la bil madzhar”. Artinya dasar yang menjadi patokan dalam perjuangan Islam adalah substansinya dan bukan simbol formalitasnya.  Memang, pada dasarnya nama sangatlah mempengaruhi kredibilitas terhadap sesuatu yang menyandang nama tersebut. Namun permasalahannya sekarang adalah di Indonesia terdiri dari banyak agama yang masing-masing mempunyai ajaran. Apabila umat Islam memaksakan berlakunya"Kepemimpinan" Islam dengan mencantumkan namanya, maka besar kemungkinan akan terjadi perang antaragama. Apabila terjadi demikian maka misi Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin bisa dikatakan gagal. Karena dengan menerapkan konsep kepemimpinan Islam justru akan membuat perpecahan dalam suatu negara.
Sebagaimana agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam rangka mengelola sebuah organisasi dalam pemerintahan. Ada beberapa hal yang disyaratkan dalam al-qur’an dan sunnah mengenai beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan"Kepemimpinan" kehidupan, bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (kehidupan politik), termasuk didalamnya dalam sistem pemerintahan yang nota-bennya merupakan kontrak sosial.  Berikut ini adalah prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang diajarkan dalam agama islam dalam hal yang berhubungan dengan kontrak sosial, yaitu :
a.       Prinsip Tauhid
Prinsip Tauhid merupakan salah satu dasar dalam sistem "Kepemimpinan" (pemerintahan Islam). Hal ini dapat dilihat dengan cara menyimak sejarah Islam itu sendiri. Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh karena itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh berbagai umat, yakni tauhid. Hal ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 48:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (An-Nisa’ : 48)
 
b.      Prinsip Syura (Musyawarah) 
Secara etimologi, konsep “syura” merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa arab. Arti dari “syura” tesebut adalah mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembangn sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan, termasuk pendapat. Sehingga musyawarah dapat berarti mengeluarkan atau mengajukan suatu pendapat. Musyawarah (syura) pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Dengan kata lain, keputusan musyawarah tidak dapat diterapkan untuk mengabsahkan perbuatan yang menindas pihak lain dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meminjam bahasa al-qur’an, jangan sampai sura itu bertujuan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal yang jelas-jelas terdapat dalam nash al-qur’an dan sunnah.  Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisas dan bermasyarakat, manusia paling tidak mengenal tiga cara , yaitu 1) keputusan yang ditetapkan oleh penguasa, 2) keputusan yang ditetapkan oleh pandangan minoritas, 3) keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas.
Ketiga bentuk keputusan di atas biasanya menjadi ciri umum demokrasi, meskipun harus dicatat bahwa “demokrasi tidak identik dengan syura”. Prinsip musyawarah dalam Islam jelas tidak sesuai dengan model keputusan yang pertama, sebab hal itu justru akan membuat syura menjadi “impoten” dan lumpuh. Demikian pula pada bentuk kedua, sebab hal ini akan menyisakan pertanyaan, apakah keistimewaan pendapat minoritas sehingga mengalahkan yang mayoritas? Walaupun syura dalam islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi pada dasarnya hal itu fidak bersifat mutlak. Demikian antara lain pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad Kamal Abu al-majad dalam kitabnya “Hiwar La Muwajahah” sebagaimana dikutip oleh quraish Shihab. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam islam suara mayoritas tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar syari’at. 

c.        Prinsip Keadilan dalam Memenej Pemerintahan
keadilan menjadi suatu keniscayaan, sebab pemerintahan dibentuk antara lain agar tercipta suasana masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika kemudian syikh al-Mawardi dalam Ahkan as-Sultabaniyyah-nya memasukkan syarat pertama bagi seorang imam atau pemimpin negara adalah mempunyai sifat adil. Bahkan sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pemerintahan yang adil di bawah pemimpin yang kafir lebih baik dibanding pemimpin muslim tapi dhalim. Karena keadilam dalam "Kepemimpinan" merupakan syarat mutlak bagi terciptanya stabilitas sosial yang “sesungguhnya”, bukan stabilitas sosial yang “seolah-olah” karena adanya tekanan.  Dalam al-qur’an, konsep keadilan diungkapkan dengan kata al-adl, al-qisth, al-mizan. Keadilan menurut al-qur’an mengantarkan manusia kepada ketakwaan, dan ketakwaan akan mengantarkan kepada kesejahteraan.  Kata al-adl dalam al-qur’an dengan berbagai bentuknya terulang dua puluh kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai keadilan.  Pertama, adil dalam arti sama; artinya tidak membeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud disini adalah persamaan dalam hak. Misalnya dalam putusan hukum di pengadilan. Kedua, adil dalam arti seimbang; arti ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan dari kedhaliman. Dalam hal ini kesesuaian atau keseimbangan tidak mengharuskan persamaan dan kadar. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Ketiga, adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Inilah yang kemudian sering dikenal dengan dalam islam dengan istilah “wadh’u asy-syai fi mahallihi”, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semua yang ada sedangkan semua yang ada pada hakikatnya tidak memiliki sesuatu disisi-Nya.  
d.      Prinsip Kebebasan (Al-Hurriyah)
Kebebasan atau huriyyah dalam pandangan Islam sangat dijunjung tinggi, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan agama sekalipun. Apakah seseorang itu mau beriman atau kafir terserah. Sebab merupakan hak setiap manusia yang diberikan Allah SWT, tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali yang di bawah dan setelah melalui proses hukum.  Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini juga bukan berarti kebebasan tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan yang lain.  

Konsep dan Implementasi Kepemimpinan Islami Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown

0 komentar:

Posting Komentar

INFO Pendidikan Terbaru